TANAH tandus bisa menyelamatkan kesulitan negeri ini dalam menyediakan bahan bakar minyak (BBM) untuk rakyat. Dari sekitar 13 juta hektare lahan tandus di seluruh Indonesia, bila ditanami pohon jarak pagar dapat menghasilkan lebih dari 400 ribu barel solar per hari. Dengan produksi ini, pemerintah tak perlu pusing mengutak-atik RAPBN menyusul fluktuasi harga minyak.
Badan Pusat Statistik menyebutkan, semester I tahun ini, Indonesia mengimpor minyak senilai US$ 28,37 miliar. Nilai tersebut lebih besar dari periode sama tahun sebelumnya, yang mencapai US$ 20,96 miliar. Salah satu jenis BBM yang banyak dikonsumsi adalah solar. Sampai kini, konsumsi solar 460 ribu barel, atau 73.140.000 liter per hari. Tingginya angka penggunaan solar, sejatinya tidak harus ditutup melalui impor. Ada beberapa sumber energi alternatif yang bisa disubstitusikan sebagai pengganti solar. Salah satunya energi biodiesel berbahan dasar minyak jarak. Pembuatan energi alternatif, kini mulai menggejala di berbagai belahan dunia.
Sebagian negara ada yang mengembangkan biodiesel, sebagian lainnya mengaktifkan bioetanol. Ini berarti, Indonesia tidak sendirian ketika mencari sumber energi alternatif. Buktinya, negara sekelas Amerika Serikat saja, masih sibuk menggali sumber energi baru. Pekan pertama, Agustus ini, Presiden AS George W Bush menandatangani RUU Energi (Energy Bill) yang khusus mengatur Bio Fuel. Gejala serupa juga muncul di kalangan perusahaan minyak dunia. Misalnya, North Dakota Biodiesel Inc yang menginvestasikan US$ 50 juta untuk proyek biodiesel di Minot, North Dakota, USA. Biodiesel ini berbasis pada tanaman canola (sejenis gandum). Ini lah proyek terbesar di wilayah Amerika Utara, dengan produksi 100 ribu ton BBM.
Biodiesel yang dihasilkan dari 144 ribu hektar kebun canola. Produsen minyak kelapa sawit di Malaysia, IOI Corp dan Kuok Oil & Grains membangun dua penyulingan minyak kelapa sawit di Roterdam yang memproduksi lebih dari satu juta ton minyak kelapa sawit dalam satu tahun. Industri ini berencana memenuhi kebutuhan biodiesel di Eropa pada masa depan. Sementara itu, perusahaan minyak raksasa Brazil, Petrobras akan meningkatkan ekspor etanol sampai 9,4 miliar liter pada 2010, dari dua miliar liter tahun 2005.
Saat ini, Japan Mitsui & Co dan Vale do Rio Doce (CVRD) turut mendukung rencana Petrobras melalui studi peningkatan ekspor etanol Brazil. Perusahaan dunia tersebut bukan tanpa alasan bila menjatuhkan pilihan kepada biodiesel. Apalagi secara prinsip kimia, penemuan energi alternatif berbeda tipis dengan penemuan energi konvensional (minyak bumi). Sebab, kata Direktur PT Rekayasa Industri Triharyo Soesilo, keduanya sama-sama mengaktifkan energi matahari. "Hanya saja, minyak bumi terjadi karena dipress sekian lama (di perut bumi). Namun energi itu bisa disimulasi di dalam tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan," tambahnya.
Proses simulasi energi ini lah yang menghasilkan bahan bakar biodiesel. Sayangnya sebagai negara katulistiwa, Indonesia belum maksimum mengonversi energi matahari. Berbeda faktanya dengan negara lain yang sama-sama negara khatulistiwa. Brazil, misalnya. Negeri Samba ini sukses mengonversi energi matahari yang tersimpan di dalam gula. Kini, Brazil sudah menghasilkan Bioetanol yang dijual US$ 25 per barel. "Ada sebuah teori yang mengatakan, nanti dunia ini ketika minyak bumi habis, tanahnya akan dibagi dua. Tanah lahan subur untuk makanan, tanah tidak produktif untuk bahan bakar melalui biodiesel, bioetanol, dan lain sebagainya," papar Triharyo. Dari 13 juta hektare lahan kering di seluruh tanah air, kurang dari 10% yang sudah dan akan dipakai.
Ini ironi, karena pertumbuhan pohon jarak justru sempurna bila ditanam di lahan kering. Jika Indonesia baru memanfaatkan kurang dari 10%, itu mengisyaratkan belum optimalnya pemanfaatan lahan kering. Saat ini, kata Triharyo, ada tiga lembaga yang menanam jarak. Pertama, perkebunan milik PT Rekayasa Industri dan Institut Teknologi Bandung (ITB) berlokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) seluas 12 ha dengan 30 ribu pohon. Kedua, perkebunan milik PT Energi Alternatif Indonesia (ada 48 ribu pohon). Ketiga, Departemen Pertanian (3 ribu pohon) di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selain itu, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) juga berencana menanam jarak pagar di 2000-2500 ha lahan gundul di Purwakarta, Oktober mendatang. Sebelumnya, RNI sudah menanam di Indramayu seluas 850 ha. Di Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam, ITB, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Departemen Sosial (Depsos) bekerja sama menghidupkan 400 ha lahan kritis. Tiga bulan lagi, kata Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB Rohmin Dahuri, hasil budidaya pohon jarak sudah bisa dinikmati.
Solar yang dihasilkan akan memenuhi kebutuhan 200 kapal, satu pabrik es, satu cool storage, serta satu unit pembangkit listrik tenaga diesel. "Yang lebih indah bagi nelayan. Harganya Rp 2.000-2.500 per liter. Yang sebenarnya Rp 1.500 kembali ke dia karena jarak yang dikelola dari pabrik inti dibeli dari mereka," jelas Rohmin. Menurut perhitungan PT Rekayasa Industri, dari tiga juta ha lahan kering akan dihasilkan 92 ribu barel solar per hari. Untuk memenuhi lahan tersebut diperlukan sekitar 7,5 miliar bibit. Bila dari seluruh tanah tandus seluas 13 juta ha ditanam jarak pagar, solar yang dihasilkan lebih dari 400 ribu barel, Kendati sudah ditanam di beberapa tempat, budidaya jarak belum terkoordinasi secara nasional. Ini ironis, mengingat besarnya potensi di belakangnya.
Bayangkan, proyek percontohan di NTB dan Cilacap (Jawa Tengah), kata Tutik Herlina Mahendrato, business manager PT Rekayasa Industri, sudah dilirik sejumlah investor. Pada saat bersamaan, PT Energi Alternatif Indonesia sudah mengembangkan biodiesel buah jarak ke dalam skala industri. Sebuah pabrik dengan kapasitas produksi 1.000 liter solar/hari, kini berdiri di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Produk biodiesel sudah dijual kepada pengusaha asal Jepang, serta sejumlah SPBU lokal.
Gerakan Nasional Ada banyak pertimbangan menjadikan biodiesel sebagai proyek nasional. Selain potensi bisnis, juga penuntasan beragam kendala di belakangnya. Harus ada yang bisa menjawab kenapa 13 juta ha lahan kering se-Indonesia tidak digarap sebagaimana mestinya. Lahan-lahan yang tersebar di wilayah Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Jawa bagian selatan, serta Papua tersebut dibiarkan terkapar.
Nasibnya tidak berbeda dengan pesakitan yang menunggu ajal. "Menurut saya, pemerintah harus mengambil inisiatif," ujar Rohmin. Sementara Triharyo mengatakan, presiden harus segera mengeluarkan peraturan khusus. Seluruh Departemen harus dikondisikan untuk mendukung dan mengampanyekan pembuatan dan pemakaian biodiesel.
Ketua Forum Biodiesel Indonesia (FBI) Tatang Soerawidjaja, menyoroti komunikasi masing-masing institusi. Pengembangan biodiesel terkesan jalan sendiri-sendiri karena komunikasi antar pakar, industriawan, serta pemerintah belum berjalan. Namun untungnya, Pertamina sebagai personifikasi pemerintah sudah membuka diri. "Bila Pertamina sudah ikut main maka pengembangan biodiesel sudah tidak ada masalah lagi," tegasnya. (c64/c74) Sumber : Investor Daily Online (27/8/05) ***
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan