Dilulus terbit pada Tuesday, July 01 @ 04:23:14 MYT oleh reformis
Oleh mag
"
Niccolò Machiavelli seorang pakar teori politik Itali percaya bahwa keberhasilan seorang pemimpin sangat ditentukan oleh ‘statecraft’ yang dimilikinya atau keahlian sebagai seorang negarawan. Untuk memastikan seorang pemimpin itu berhasil atau tidak, dapat dilihat bagaimana cara ia menggunakan kekuasaan yang ada di tangannya. Penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan banyak cara, termasuk cara-cara yang tak terpuji.
The Prince, yang ditulis Machiavelli tahun 1513, menyatakan bahawa semua pemimpin harus menggunakan penipuan dan akal licik, untuk mencapai tujuan mereka. Dengan lain perkataan, seorang pemimpin harus tahu bila ia harus berperanan sebagai singa, bila bertindak seperti musang, dan sebagainya. Perubahan karakter seorang pemimpin itu harus mengikuti keadaan. Ini bererti juga seorang pemimpin itu harus memberikan kesan di depan rakyat bahwa ia seorang yang lembut, pemurah, bahkan pro agama. Namun ia pun dapat berbuat jahat dan mengabaikan rasa sayang dan moral jika diperlukan.
Teori kepemimpinan yang diusung oleh Machievelli itu merupakan salah satu model kepemimpinan yang banyak digunakan oleh para pemimpin diktator. Bagi penentang teori ini, Machiavelli dianggap sebagai simbol kediktatoran dan kekejaman. Teori kepemimpinan Machievelli cenderung menghalalkan segala cara untuk mempertahankan suatu kekuasaan. Inilah menjadi pegangan yahudi yang amat bertentngan dengan islam.
Ia juga membenarkan sistem pemerintahan yang dijalankan penguasa bertangan besi, yang menolak pertimbangan moral dalam hal politik praktis.
Oleh kerana itu, tak hairan jika para Machiavellis, terutama para penguasa yang menjalankan prinsip Machiavelli ini dianggap sebagai individu dan kumpulan manusia yang membenarkan dusta, penipuan, penindasan, dan pembunuhan, termasuk pengingkaran sejarah asal stabiliti kekuasaannya mantap dan tidak tergugat.
Menurut Machiavelli, penguasa yang menjalankan aturan-aturan konvensional seperti petunjuk-petunjuk moral (agama) yang menekan justru akan menghancurkan kekuasaannya sendiri. Ia menganjurkan seorang penguasa itu mengabaikan pertimbangan moral secara total dan mengandalkan kekuatan dan kelicikan, termasuk mewujudkan kekuatan militeri yang dilengakp persenjataan terbaik. Seorang penguasa juga harus dikelilingi oleh menteri-menteri yang mampu dan setia, terdiri dari penjilat untuk mencapai kejayaannya.
Machiavelli juga mengajukan dua pilihan perbincangan, apakah seorang penguasa itu lebih baik dicintai atau dibenci/ditakuti. Menurutnya penguasa sebaiknya ditakuti dan dicintai, tapi kedua pilihan ini ini tak boleh disandang sekaligus, lebih mudah bagi seorang penguasa adalah ditakuti, kerana bila dia memilih untuk dicintai maka ia harus siap-siap untuk mengorbankan kepentingan demi rakyat yang mencintainya.
Dalam sejarah dunia, ada begitu banyak penguasa yang mengikuti teori kepemimpinan Machiavelli ini. Napoleon, Stalin, Hitler, Benito Mussolini, Slobodan Milosevic, Pinochet, hingga Pol Pot merupakan tokoh-tokoh yang mengambil langkah radikal dalam kepemimpinannya. Mereka menciplak habis teori Machiavelli untuk bertahan dalam tampuk kekuasaannya. Mereka diktator ulung pada masanya. Mussolini memuji-muji Machievalli di depan umum sebagai tokoh inspirator. Bahkan Napoleon menyelitkan "The Prince" di bawah bantalnya agar boleh membacanya berulang-ulang.
Bagaimana dengan para pemimpin kita? Sedikit sebanyak, meskipun mereka tidak pernah baca The Prince itu, sedar atau tidak, mereka pernah menjalani teori kekuasaan Machiavelli. Lihat saja, mereka akan begitu baik pada kita ketika musim pemilihan tiba. Mereka loyal dengan janji-janji kesejahteraan, memberikan sumbangan, bantuan, hingga hal-hal kecil lainnya. Taktik ini tak hanya berlaku pada para (calon) pemimpin nasional semata tapi juga para (calon) pemimpin daerah.
Untuk menarik perhatian kita, mereka, para (calon) pemimpin itu akan mengubah dirinya menjadi seseorang yang lembut, pemurah, bahkan agamais, seperti yang disarankan dalam teori Machiavelli. Setiap ada kumpul-kumpul keagamaan mereka akan muncul, setiap ada bencana mereka akan segera mengeluarkan dana dan bantuan secepatnya, tanpa harus kita minta. Senyum mereka pun akan bertebaran kemana-mana. Akankah keadaan ini kekal selamanya? Mungkin ya mungkin tidak. Setelah hari pemilihan tiba dan terpilih menjadi penguasa, mungkin mereka akan tetap menjadi orang yang manis, dan cepat tanggap dengan kesulitan rakyatnya, namun boleh juga sebaliknya, mereka boleh menjadi singa, rakus, dan mencari akal bagaimana mengembalikan semua dana yang dihamburkan saat kampenye agar kembali masuk ke poket mereka.
Horor kepemimpinan pun memulai episodenya. Kebijakan publik, regulasi/deregulasi, undang-undang, dan segala peraturan yang dikeluarkan lebih cenderung membela kepentingan kelompok penguasa daripada rakyat. Nasib rakyat pun makin tak jelas, apa yang pernah dijanjikan pada musim kempennya amat jauh dari kenyataan. Harga-harga bahan kekeperluan bukannya makin murah malah menjadi amat mahal seakan-akan RM akan menjadi Rupiah hingga melangkaui batas kemampuan. Pendidikan yang dijanjikan akan dinikmati oleh semua lapisan cuma mimpi di siang hari. Matematik dan Sains dalam English terus melingkup rakyat marhaen yang ia cuma diwujudkan untuk mengisi kantong kroni kapitalis .
Gaya pemimpin kita kini memang bukan gaya diktator, mereka tidak membunuhi rakyatnya yang membangkang seperti halnya Pol pot, Pinochet, Hitler, atau Slobodan Milosevic. Tetapi ISA zalim tetap diteruskan. Hak-hak negeri sebgaimana yang termaktub dalam perlembagaan dinafikan dan inilah yang pemimpin umno Be end cukup faham mengenai konsep federalism. Mereka tetap menjadi seorang yang lembut dan bersahaja ketika berhadapan dengan rakyatnya. Namun tetap saja rakyat hidup kesusahan dan menikmati hari-hari dengan penuh kecemasan. Dan ini sama saja membunuh rakyat perlahan-lahan, dan mereka terus kekenyangan. Ingatlah akhirat menanti kita semua."
TranungKite
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan